Jakarta – Hizbullah membalas pembunuhan pemimpin Hamas dengan menembakkan roket ke Israel, sebagai bentuk balasan terhadap pembunuhan seorang pemimpin senior Hamas di Beirut pekan lalu yang secara luas dikaitkan dengan Israel, Hizbullah dilaporkan telah melakukan serangan roket dari Libanon selatan ke wilayah Israel sebagai bagian dari balas dendam mereka.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken, memulai tur lima hari ke wilayah Timur Tengah, bertujuan untuk meredakan ketegangan yang tengah meningkat di perbatasan yang disengketakan antara Lebanon dan Israel. Eskalasi kekerasan di wilayah tersebut menjadi sorotan, dengan kekhawatiran bahwa situasi ini dapat memicu konflik yang lebih meluas di seluruh Timur Tengah.
Mayoritas analis meyakini bahwa kemungkinan perang besar antara Hizbullah dan Israel masih sangat rendah. Kedua belah pihak diyakini tidak bersedia mengambil risiko tingginya jumlah korban, biaya, dan kerusakan yang akan timbul akibat konflik semacam itu.
Dilansir dari laman The Gurdian “Dalam dua pidato minggu lalu, Hassan Nasrallah, pemimpin organisasi Islamis tersebut, mengancam akan melakukan pembalasan atas pembunuhan Saleh al-Arouri, wakil pemimpin Hamas,” Minggu (7/1/2024).
Hamas dan Hizbullah adalah sekutu yang dekat dengan Iran. Salah satu pemimpin Hamas, Arouri, tewas di lingkungan yang merupakan benteng Hizbullah. Sementara pemimpin Hamas lainnya berbasis di Gaza, Qatar, dan Turki.
Meskipun AS memberikan dukungan kuat kepada Israel sejak pecahnya perang dengan Hamas tiga bulan yang lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken diperkirakan akan mendorong Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk mengambil tindakan lebih lanjut dalam melindungi warga sipil di Gaza.
Hal tersebut termasuk memperbolehkan lebih banyak bantuan masuk ke wilayah itu dan mengendalikan para menteri sayap kanan yang mendesak pemindahan massal warga Palestina, suatu retorika yang dikecam oleh Amerika sebagai tindakan yang menghasut dan tidak bertanggung jawab.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah mengecewakan Washington dengan menolak terlibat dalam perencanaan terperinci untuk pemerintahan Gaza saat serangan militer Israel berakhir.
Dalam beberapa hari terakhir, para pejabat senior Israel telah berusaha keras menawarkan beberapa proposal untuk periode pascaperang di wilayah tersebut.
Pada hari Kamis, Menteri Pertahanan Israel, Yoav Galant, mengusulkan bahwa Israel tetap memegang kendali atas keamanan Gaza. Namun, dalam rencananya, sebuah badan Palestina yang dipandu oleh Israel akan menjalankan pemerintahan sehari-hari, sementara AS, Uni Eropa, dan mitra-mitra regional akan bertanggung jawab atas pembangunan kembali wilayah tersebut.
Rencana ini bertentangan dengan AS yang menginginkan revitalisasi Otoritas Palestina untuk mengambil alih Gaza dan memulai negosiasi baru untuk menciptakan negara Palestina bersama Israel.
“Kami tidak berharap setiap pembicaraan dalam perjalanan ini akan berjalan dengan mudah. Jelas ada isu-isu sulit yang dihadapi kawasan ini dan pilihan-pilihan sulit ke depan.” Ucap Matthew Miller, juru bicara Departemen Luar Negeri AS.