URGENSI PENDIDIKAN SEXUAL DI LINGKUP SEKOLAH

pendidikan seksual di sekolah

HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah suatu penyakit yang menyerang system kekebalan tubuh dan membuat tubuh kehilangan kemampuannya untuk melawan infeksi dan penyakit. Penyakit ini timbul karena beberapa faktor, diantaranya adalah transfusi darah, pemakaian jarum suntik yang tidak steril juga pergaulan bebas atau hubungan sexual di luar pernikahan dan juga kebiasaan bergonta-ganti pasangan. Hingga saat ini belum ditemukan obat yang mampu menyembuhkan pasien secara total 100%. Obat-obatan yang tersedia saat ini hanyalah untuk menghambat dan juga memperlambat kerja dan persebaran virus, itupun obat wajib dikonsumsi secara terus-menerus seumur hidup.

Kementrian Kesehatan mengungkapkan bahwa kasus penderita HIV/AIDS semakin meningkat tiap tahunnya. Hal yang lebih mencengangkan adalah sebanyak 12.553 penderitanya adalah remaja dan anak-anak (Antaranews, 2022). Tingginya kasus tersebut bisa jadi karena ditularkan oleh ibunya maupun karena pola pergaulan para remaja itu sendiri.

Selain tingginya angka penderita HIV/AIDS pada remaja, angka kehamilan di luar nikah pada remaja juga terus meningkat. Ada tanda tanya besar mengapa hal ini bisa terjadi pada kalangan remaja? Apakah memang moral mereka yang bobrok, perkembangan jaman yang semakin liar atau kita sebagai orang dewasa gagal dalam mengedukasi mereka tentang pendidikan sexual.

Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan sexual di luar pernikahan semakin dilumrahkan atau diwajarkan bagi sebagian orang. Hal ini dianggap wajar dan apabila sesorang tidak mengikuti trend tersebut maka akan dianggap cupu, kampungan atau bahkan kolot. Beberapa juga berpendapat bahwa hubungan sexual bukanlah hal yang serius melainkan hanya sebatas kebutuhan biologis saja. Hal inilah yang wajib diluruskan oleh kita selaku orang dewasa.

Temuan di lapangan menunjukkan bahwa banyak remaja yang melakukan pergaulan bebas mengaku mereka hanya mengikuti trend semata tanpa tahu betul konsekuensi apa saja yang bisa timbul dan harus mereka tanggung. Harus diakui bahwa pendidikan sexual sangat kurang mereka dapatkan dan mirisnya justru hal tersebut dianggap tabu dan menjadi topik yang sangat dihindari untuk dibicarakan. Bahkan tidak sedikit guru yang melewatkan bab reproduksi dengan tidak menjelaskan secara detil karena khawatir dianggap cabul. Hal inilah yang menjadi akar kekeliruan.

Pada tahun 2019 dirilis sebuah film berjudul 2 garis biru yang memicu banyak pro kontra, bahkan tidak sedikit masyarakat yang menyerukan untuk memboikot film tersebut karena dianggap tabu meskipun belum menonton film tersebut. Padahal film tersebut bertujuan untuk mengedukasi remaja, konsekuensi apa yang harus mereka tanggung apabila terlibat dalam pergaulan bebas. Hal ini semakin memperkuat klaim bahwa masyarakat kita belum menyadari betul apa itu pendidikan sexual.

Perlu ditegaskan dan digaris bawahi bahwa pendidikan sexual bukanlah hal cabul. Dalam pendidikan sexual kita tidak diajarkan bagaimana caranya melakukan hubungan sexual melainkan kita diajarkan untuk mengenal dan mengetahui fungsi dari masing-masing organ reproduksi. Dalam pendidikan sexual atau yang lebih dikenal dengan sexual education akan dijelaskan dampak dan resiko apa saja yang dapat timbul, mulai dari resiko terpapar penyakit kelamin menular seperti sifilis, gonorhea, raja singa, HIV/AIDS, resiko rusaknya organ reproduksi, dan juga dampak buruk kehamilan yang dialami oleh anak di bawah umur.

Fakta-fakta tersebut perlu dikenalkan kepada anak-anak sehingga mereka tidak terbutakan dengan glorifikasi bahwa hubungan sexual adalah perwujudan dari cinta kasih, melainkan suatu tindakan yang beresiko sangat besar bahkan bisa mengancam masa depan mereka. Dengan diberikannya fakta tersebut, diharapkan para remaja mengetahui betul dampak serta konsekuensinya sehingga mereka tidak bertindak secara gegabah.

Sayangnya sistem pendidikan negara ini masih belum peduli dengan hal tersebut. Menurut data yang dirilis olehh World Bank, negara seperti Italia, Jerman dari Swis adalah negara dengan angka kehamilan pada remaja terendah. Negara tersebut memiliki 4 kelahiran remaja per 1000 bayi yang lahir. Semua itu berkat dari pendidikan sexual yang dilakukan oleh negara-negara tersebut. Berbanding terbalik dengan negara kita yang menganggap pendidikan sexual merupakan suatu hal yang tabu, negara-negara tersebut justru mewajibkan pendidikan sexual di satuan pendidikan mereka.

Pendidikan sexual dilakukan sejak dini, bahkan sebelum mereka mengalami pubertas. Mereka meyakini bahwa anak-anak berhak dan wajib mendapatkan pengetahuan serta informasi yang berkaitan dengan anatomi tubuh mereka, alak reproduksi, kesehatan sexual, kontrasepsi serta hubungan sexual yang aman. Maka dari itu, tabu tidaknya, cabul tidaknya adalah tergantung bagaiman cara kita dalam menyampaikan dan juga menyikapinya. Mari selamatkan para remaja kita dari berbagai penyakit sexual menular, juga kehamilan dini.