Jakarta – Muhammad Andri Perdana, peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), menyampaikan bahwa dampak penurunan harga nikel yang bersamaan dengan kelebihan pasokan dari Indonesia telah mulai dirasakan oleh pemilik smelter di Indonesia, yang mana hampir seluruhnya dikuasai pemodal China.
Dia menekankan bahwa investasi dalam industri nikel dari Tiongkok telah menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Dalam pembaruan terkini, banyak investor di Indonesia yang menarik diri. Sebagai contoh, bulan lalu, Hanrui Cobalt membatalkan rencana pembangunan proyek pabrik HPAL nikel dengan kapasitas 60.000 ton di Morowali.
“Huayou Cobalt juga telah dikabarkan ingin membatalkan proyek nikel dengan kapasitas produksi 120.000 ton per tahun di Morowali yang tadinya telah direncanakan untuk beroperasi di tahun 2025,” kata Andri, dikutip dari tirto.id, Jumat (19/1/2024).
Andri menjelaskan bahwa lonjakan harga nikel mencapai puncaknya karena optimisme terkait prospek kendaraan listrik, terutama pada tahun 2022. “Kita menjadi sangat percaya diri dan banyak mendengungkan narasi Indonesia akan menguasai rantai nilai industri dari produksi baterai listrik,” ujarnya.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya, dengan harga nikel dan kobalt yang tinggi, banyak industri mulai mendorong pengembangan baterai kendaraan listrik yang tidak bergantung pada nikel atau kobalt, yang juga dianggap memiliki masalah lingkungan.
“Terbukti sekarang baterai LFP yang tidak membutuhkan nikel kini menjadi baterai yang paling cepat berkembang dan digunakan untuk kendaraan listrik,” kata Andri.
“Pada akhirnya, ini justru membuat pengembangan industri mineral dalam negeri menjadi tertahan,” imbuhnya.
Selanjutnya, Andri juga menyoroti dampak negatif terhadap prospek nikel Indonesia yang semakin terpukul oleh kebijakan FEOC (Foreign Entity of Concern) yang diumumkan oleh pemerintah AS bulan lalu. Kebijakan ini membuat nikel Indonesia kehilangan kelayakan untuk mendapatkan kredit pajak di negara tersebut.
“Dengan adanya kebijakan ini, seluruh kendaraan listrik tidak boleh mengandung critical mineral yang diproses oleh perusahaan yang setidaknya 25 persen dikuasai oleh negara-negara FEOC, termasuk China,” jelasnya.
Dampak dari kebijakan ini adalah hampir seluruh nikel yang diproses oleh smelter di Indonesia termasuk dalam larangan tersebut. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa mayoritas saham hampir semua smelter nikel di Indonesia dikuasai oleh pihak dari China.
“Dasar-dasar seperti inilah yang membuat kita ke depannya harus lebih berhati-hati dalam mengistimewakan hilirisasi nikel dengan segala percepatannya. Karena dengan kondisi pasar yang membaik sekalipun, nikel kita memiliki kerawanan tidak diterima di pasar dunia,” katanya.
Sebagai informasi tambahan, Indonesia menduduki posisi sebagai negara dengan cadangan dan tingkat produksi nikel terbesar di dunia. Pada tahun 2022, Indonesia menyumbang sebanyak 51% dari total produksi nikel global.
Dengan potensi yang sangat besar ini, tidak mengherankan jika pemerintahan Jokowi menjadikan hilirisasi nikel sebagai salah satu prioritas utama. Hal ini juga didorong oleh peningkatan yang signifikan dalam penerimaan devisa negara.