Jakarta – Serangan terhadap stasiun televisi ini menandai puncak dari sepekan pertumpahan darah dan kekacauan yang telah mengguncang negara yang selama ini dianggap sebagai salah satu tempat paling aman di Amerika Selatan. Di berbagai wilayah Ekuador, sejumlah sipir disandera, bangunan dan kendaraan dibakar, bom mobil meledak, dan setidaknya 16 nyawa dilaporkan meninggal dunia, Sabtu (13/1/2024).
José Luis Calderón, seorang jurnalis televis terkemuka di Guayaquil menjelaskan keadaan berubah setelah makan siang pada Selasa lalu waktu setempat, ketika reporter berusia 47 tahun itu mendengar teriakan dan suara orang berlarian dari koridor TC Televisión, TV tempat dia bekerja. Calderón mengenang, “Awalnya, kami mengira itu perkelahian.” Namun, dengan teriakan yang semakin keras, menjadi jelas bahwa itu bukanlah perkelahian.
Calderón sedang berada di ruang redaksi di sebelah studio saluran TV tersebut ketika kekacauan dimulai. Merasa ada sesuatu yang tidak beres, dia berlari ke kamar mandi bersama dua rekan kerja perempuannya dan menelepon saudara iparnya.
Dia mengatakan, “Saya baru saja mengatakan kepadanya: ‘Saya tidak tahu apa yang terjadi… tetapi kita berada dalam situasi darurat. Silakan hubungi 911. Saya terjebak. Saya bersembunyi… Rekan-rekan saya hancur berkeping-keping.'” Dikutip dari Theguardian.com, Sabtu.
Di ruang sampingnya, lebih dari selusin anggota geng yang mengenakan topeng dan membawa bahan peledak serta senjata api menyerbu studio TV tersebut. Mereka masuk ke studio saat kamera sedang merekam, lantas menyiarkan serangan itu ke seluruh negeri, dan bahkan segera ke seluruh dunia. Beberapa saat kemudian, mereka berhasil masuk ke kamar mandi dan memerintahkan Calderón beserta rekan-rekannya untuk keluar.
“Mereka adalah anak-anak yang membawa senjata, Kacau, Terburu nafsu. Mereka tampak bahagia. Mereka tampak bangga dengan apa yang mereka lakukan – tapi menurut saya itu bukan suatu kebanggaan,” ungkap Calderón.
“Seolah-olah mereka sedang bermain game tapi dengan senjata sungguhan yang sangat berbahaya dan mematikan.” imbuhnya.
Calderón mengatupkan kedua tangannya seakan sedang berdoa ketika salah satu senjata diarahkan tepat ke tenggorokannya. Sebuah ponsel diambil, dan jurnalis tersebut diperintahkan untuk mengirim pesan ke dunia luar. “Beritahu mereka,” ancam salah seorang pemberontak, “jika polisi datang, kami akan membunuhmu.”
Calderón, telah menyaksikan berbagai peristiwa selama 23 tahun kariernya, termasuk pergolakan politik, protes jalanan, baku tembak, dan bahkan banjir. Meskipun begitu, hingga saat ini, Calderón belum pernah menjadi berita itu sendiri.
“Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Saya tidak bisa menjelaskan hal ini,” ungkap jurnalis yang masih kaget itu keesokan harinya saat wawancara di rumahnya. Dia bersyukur bahwa kami masih hidup