Media Sosial dan Politik Pembodohan

Media Sosial dan Politik Pembodohan

Dalam jantung demokrasi, media berperan sebagai pilar penting yang tidak hanya menginformasikan, tetapi juga mengedukasi dan mengawasi. Sebagai ‘pengawas keempat’, media bertanggung jawab untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas, memastikan bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan. Dalam teori, media harus beroperasi sebagai alat independen, bebas dari pengaruh politik dan keuangan, yang menyajikan fakta dan berita tanpa prasangka atau bias.

Media membuka ruang untuk dialog dan diskusi, memungkinkan suara-suara beragam untuk didengar, dan memperkaya wawasan publik. Dari sudut pandang ini, media bukan hanya penyampai berita, tetapi juga forum untuk perdebatan demokratis, tempat ide bertemu, bertabrakan, dan berkembang. Di era digital saat ini, peran media menjadi semakin krusial, seiring dengan kemudahan akses informasi dan kecepatan penyebarannya.

Namun, dalam realitas yang sering kali rumit dan berlapis, media juga menghadapi tantangan berat. Dari tekanan politik hingga manipulasi ekonomi, media terkadang terjebak dalam pusaran kepentingan yang menyimpang dari prinsip dasar jurnalisme. Karena itu, memahami peran serta tantangan yang dihadapi oleh media dalam konteks demokrasi menjadi sangat penting, terutama dalam menilai bagaimana realitas sosial kita dibentuk dan dipahami.

Intervensi Kekuasaan Media


Para pemegang kekuasaan dalam pucuk perusahaan media memiliki peran penting dalam menyalurkan Ideologi. Seperti pada kasus kepemilikan metro TV, dan MNC grup yang dimiliki oleh petinggi partai. Media yang ditampilkan bukan hanya sebatas hasil dari informasi yang dioleh di meja redaksi. Melainkan memiliki peran konstruksi atau membangun informasi keberpihakan sang pemilik media dengan relasi politik yang dibangunnya. Kasus tampilnya Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dalam tanyangan video adzan di TV menjadi contoh bangaimana pembangunan imaji atau bayangan seorang yang agamis. Disisi lain juga menaikan popularitas dari Ganjar sendiri. TV One juga pernah melakukan upaya konstruksi yang lucu pada tahun 2019 silam, yang mana menampilkan hasil survey pemenang Pilpres waktu itu adalah pasangan dari Prabowo. Alih-alih membangun perspektif publik untuk memenangkan Prabowo, justru menjadi bahan becandaan publik. Seperti kekalahan tim sepakbola Mencehster United (MU) setelah pertandingan melawan Newcastle United, mungkin jika disiarkan oleh TV One MU yang menang

Jika media dilihat secara pendekatan ekonomi politik. Kekuatan pemodal, pengiklan, atau partai politik akan berpengaruh langsung dalam berbagai bentuk larangan atau keharusan untuk menulis berita maupun konten yang ditampilkan. Hal yang sering tidak disadari oleh wartawan bahwa menganggap bahwa beritanya obyektif, berimbang, dan dua sisi. Padahal yang terjadi secara tidak langsung berita yang terdistribusi turut serta melanggengkan dan menguntungkan kekuatan ekonomi politik yang dominan.

Media Sosial dan Pembodohannya

Media Sosial dan Politik Pembodohan


Pernahkah kalian membeli sesuatu barang karena terpengaruh iklan di media sosial?, padahal kalian tidak membutuhkan barang tersebut. Kalian tidak salah, karena kalian sedang berada kondisi Unconsciousness (tidak sadar). Iklan secara tidak langsung mempengaruhi ketidaksadaran kalian. Keberhasilan anak komunikasi dalam membuat iklan dan keputusan pembelian.

Iklan yang tampil dalam beranda media sosial merupakan hasil dari data pencarian kalian. Data pencarian dari pengguna media sosial tercatat dan tersimpan untuk selanjutnya diberikan iklan yang sesuai dengan ketertarikan pengguna. Tidak heran jika kita akhirnya menyesal membeli barang yang sebenarnya tidak berguna karena terpengaruh oleh media.

Dalam konteks politik, media sosial menjadi sarana paling mudah dalam menyebarkan informasi. Selayaknya media mainstream seperti televisi yang memiliki peran membangun konstruksi. Media sosial dijadikan ruang distribusi informasi yang bersumber dari TV. Dengan fitur media sosial, informasi yang disebar luaskan memiliki jangkauan yang lebih luas. Pengguna juga dapat menambah informasi atau mengedit informasi sesuai dengan kehendaknya. Fasilitas inilah yang dimanfaatkan oleh para Buzzer dari tim sukses Presiden untuk mempengaruhi perspektif publik. Mereka bekerja berdasarkan pamilik modal, sehingga informasi yang disebarkan pasti menjujung calon Presiden

Cara Kerja Media Sosial

Algoritma dari media sosial yang menampilkan informasi atau konten-konten yang disukai pengguna. Ini adalah awal dari ketersesatan dimulai. Tidak mengherankan muncul pengguna media sosial yang cukup fanatis terhadap salah satu calon presiden. Hal tersebut karena beranda media sosialnya dipenuhi dengan konten-konten yang menampilkan calon Presiden yang mereka sukai. Realitas yang dibangun dari logaritma tayangan di media sosial mempengaruhi rasional pengguna.

Tanpa sadar dan secara perlahan media sosial sendiri menutup informasi terkait calon Presiden yang tidak disukai. Seperti contoh pendukung Anies Baswedan yang melihat sosok yang cerdas, dll karena informasi dari media sosial. Padahal janji kampanyenya menjadi Gubernur DKI memberikan rumah dengan DP 0 rupiah adalah sesuatu yang tidak rasional dan hanya berasalkan optimisme. Atau pendukung Prabowo yang terpengaruh mendukungnya karena Cipung atau anak dari Rafi Achmad mengenakan baju yang memiliki warna yang sama dengan Prabowo. Termasuk pendukung Ganjar yang terpengaruh karena simpati dan suka pada Alam Ganjar selaku anak dari calon Presiden.

Keputusan dukungan terhadap calon Presiden tidak bisa dilepaskan dari ketidaksadaran pengguna media sosial. Ketidakberimbangan informasi yang mereka peroleh dari media sosial acap kali menjadikan pengguna media tersesat pikirannya. Untuk itu para pengguna media sosial harus selalu terbuka pemikiran dengan orang-orang yang berbeda pilihan untuk mendapatkan informasi yang sebenar-benarnya. Sehingga dapat terhindar dari kasus salah memilih Presiden maupun salah membeli barang.